Tomy Winata versus
TEMPO
Kata-kata adalah
alat pokok dalam pekerjaan ini. Bila kau tak bisa mengeja dengan tepat atau
tidak bisa memakai kata-kata dengan efektif dan akurat, kau tidak tepat untuk
masuk dalam peraturan surat kabar.
Dunia
JURNALISTIK adalah perangkaian kata dari fakta. Atau tepatnya, perangkaian
kata-kata dalam mengkontruksi suatu fakta sesuai persepsi jurnalis yang
menuturkannya. Kesalahan memilih dan merangkai kata akan berpengaruh terhadap
keakuratan dan efektivitas penulisan. Singkatnya, kata akan memainkan arti penting dalam
penulisan satu tema dan akurasi penyajian fakta.
“ada Tomy di
‘Tenabang’?”. Sebagai judul berita yang di muat dalam rubrikasi nasional
majalah berirta mingguan TEMPO edisi 3-9 Maret 2003 halaman 30-31, merupakan
bukti dari kecakapan bertutur dan berkata-kata untuk menutupi adanya fakta dan
informasi yang tidak akurat dan benar. Ketidak akuratan itu juga terlihat pada
penulisan lead (pembuka) berita tersebut. “Konon Tomy Winata mendapat proyek
renovasi pasar Tanah Abang senilai Rp. 53 miliar. Proposal sudah di ajukan
sebelum kebakaran”. Dalam hal ini, yakni pada penggunaan kata “Konon” yang
menunjukkan tidak di kuasainya fakta dan informasi akurat yang benar. Bahkan
lebih dari itu, bisa dibaca sebagai gaya penulisan yang menutupi design isu
membunuh karakter Tomy Winata.
Selain kata
“Konon”, tulis Sirikit Syah dalam kata pengantar, lead itu rancu karena kata
“Mendapatkan Proyek” dan “Proposal sudah di ajukan” adalah dua hal yang tidak
identik. Pengertian kita tentang “mendapatkan” adalah bahwa proposal sudah
disetujui dan kontrak sudah diteken.
Untuk
mengklarifikasi sejumlah isu dalam berita itu, Tomy Winata melalui kuasa
hukumnya dari Law Office Tread & Assosiate mengajukan surat s omasi tanggal
6 maret 2003 kepada Pimpinan Redaksi Majalah TEMPO.
Mengapa Somasi?
“Ada Tomy di
Tenabang”? mengangkat isu tentang rencana renovasi Pasar Tanah Abang
pasca-peristiwa kebakaran. Menurut sumber anonim TEMPO, yaitu seorang
kontraktor arsitektur, Tomy winata telah menyetor proposal renovasi Pasar Tanah
Abang tiga bulan sebelum peristiwa kabakaran terjadi. Konfirmasi dari Wali Kota
Jakarta Pusat Khosea Petra Lumbun tentang Proyek Sentra Bisnis Primer Tanah
Abang dimuat untuk menguatkan informasi dari sumber anonym tersebut. Dimuat
juga wawancara dengan Tomy winata, yang membantah isu adanya proposal yang dimaksud.
Tulisan TEMPO bahwa proposal renovasi Pasar Tanah Abang telah diajukan Tomy
Winata tiga bulan sebelum kebakaran Pasar Tanah Abang, dengan belum jelasnya
sebab-sebab kebakaran tersebut, dan pencitraan Tomy Winata sebagai “Pemulung
Besar” yang akan menangguk keuntungan besar dari kebakaran itu, serta style
penulisan yang bersifat tendensius, insinuative dan provokatif, telah
menimbulkan kesan seolah-olah Tomy Winata berada dibelakang layar penyebab
terbakarnya Pasar Tanah Abang.
Akibat berita
itu, Tomy Winata menerima belasan sms (short message service) dari orang-orang
yang mengaku korban kebakaran Pasar Tanah Abang, yang mengancam keselamatan
diri, keluarga dan bisnisnya. Mereka dirugikan oleh berita TEMPO yang
mencemarkan nama baiknya itu, Tomy Winata melalui kuasa hukumnya mengirimkan
somasi kepada Pimpinan Redaksi TEMPO, Bambang Harymurti. Berikut point-point
surat somasi tertanggal 6 Maret 2003 itu :
1. Bahwa
didalam majalah TEMPO edisi 3-9 Maret 2003 pada halaman30-31 dengan judul “Ada
Tomy di Tenabang’?”. Terdapat berita yang isinya berbunyi sebagai berikut :
Dari musibah kebakaran, rabu dua pecan lalu,
suwarti dan rekan-rekannya mungkin menangguk lebih banyak penghasilan ketimbang
sebelumnya. Tapi juga, “Pemulung Besar” Tomy Winata, nantinya. Pengusaha dari
Group Artha Graha ini, kata seorang kontrakror arsitektur kepada TEMPO, sejak
tiga bulan lalu sudah menyetor proposal proyek renovasi Sentra Bisnis Primer
Tanah Abang senilai Rp. 53 miliar ke pemerintah DKI Jakarta.
2. Bahwa didalam berita yang dikutip di atas
terdapat kata yang menyebutkan klien kami adalah pemulung besar. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Pemulung (orang yang memulung)
berarti orang yang mencari bafkah dengan jalan mencari dan memungut serta
memanfaatkan barang bekas (seperti punting rokok) dengan cara menjualnya kepada
pengusaha yang kan mengolahnya kembalai menjadi barang komoditas.
3. Bahwa dilihat dari sudut pandang manapun
juga, dengan pengertian di atas, jelaslah pemulung merupakan suatu pekerjaan
yang dipandang rendah, sekalipunsetelah kata pemulung ada penambahan kata
besar.
4.
Bahwa dalam keseharian, pemulung adalah
berpakaiaan dekil yang pekerjaannya memungut barang-barang bekas atau tidak
dipakai lagi dan sudah tidak mempunyai nilai ekonomi lagi.
5. Bahwa klien kami dikenal luas sebagai
pengusaha yng memiliki berbagai usaha, sehingga dilihat dari sudut pandang
apapun sangatlh tidak pantas digolongkan sebagai pemulung, sekalipun sebagai
pemulung besar. Kalau yang dimaksud adlah barang-barang bekas yang besar dan
kemudian dijual kembali kepada pengusaha lain, maka penyebutan kepada pemulung
besar kepada klien kami juga sangat tidak tepat, karena klien kami tidak pernah
melakukan usaha atau menjalankan bisnis yang dapat dipersamakan dengan
pekerjaan seorang pemulung, lagipula barang-barang dalam pengertian tersebut,
tentu saja tidak ada.
6. Bahwa dari susunan kalimat pemberitaan yang
dikutip di atas, jelas terlihat bahwa penyebutan kata pemulung besar bukan
berasal dari sumber berita, tetapi murni berasal dari intern majalah TEMPO
sendiri, atau dapat juga diartikan majalah TEMPO telah member julukan kepada
klien kami sebagai pemulung besar. Perbuatan tersebut merupakan pelecehan
terhadap harga diri klien kami.
7.
Bahwa dengan pengertian dari kata pemulung
(besar) sebagaimana di atas, maka tindakan yang dilakukan oleh majalah TEMPO
sangatlah merugikan klien kami sebagai seorang kepala keluarga, pengusahan dan
individu warga Negara. Majalah TEMPO yang di kelolah dan dijalankan orang-orang
bijak dan intelektual tentunya menyadari akibat negative yang ditimbulkan dari
penyebutan atau menjuluki klien kami sebagai pemulung besar terhadap perasaan
istri dan anak-anak klien kami dalam bermasyarakat dan dalam pergaulan sebagai
seorang pengusaha. Dan majalah TEMPO tentunya juga sangat menyadari, bahwa
majalah TEMPO dibaca oleh banyak orang.
8.
bahwa apabila dipandang dari sudut
pemberitaan, maka penyebutan kata pemulung besar tersebut sangatlah tidak ada
relevansinya dengan materi pemberitaan yang hendak disampaikan majalah TEMPO.
Sehingga sangat beralasan kalau kami menduga, penyebutan atau menjuluki
pemulung besar tersebut adalah semata-mata untuk merendahkan, melecehkan, dan
mencemarkan nama baik klien kami. Tindak tersebut jelas bertentangan dengan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 4O Tahun 1999 tentang Pers, yang
menyebutkan, bahwa Pers nasional
berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan control social. Dengan
pelecehan tersebut fungsi pendidikan
yang bagaimana yang hendak dijalankan oleh majalah TEMPO.
9.
Bahwa tentang proposal proyek sebagaimana
diberitakan di atas sesuai dengan bantahan dari klien kami yang memuat oleh
majalah TEMPO pada alinea selanjutnya adalah tidak benar pernah diajukan oleh klien
kami, tetapi yang mengherankan dari judul berita dan materi pemberitaan yang
dikedepankan tetap seolah-olah klien kami adalah orang yang berada di belakang
layar yang menyebabkan Pasar Tanah Abang terbakar. Sebagaimana dimaksud dari
salahsatu kalimat dari alinea yang dikutip di atas menyebutkan, sejak tiga
bulan yang lalu klien kami telah menyetorkan proposal renovasi Pasar Tanah
Abang senilai Rp. 53 miliar. Isi berita tersebut, selain menimbulkan kesan
klien kami yang berada di belakang layar
penyebab terbakarnya Pasar Tanah Abang, juga menimbulkan kesan
seolah-olah klien kami telah memberi uang kepada aparat Pemerintah DKI Jakarta,
hal ini dikarenakan majalah TEMPO menggunakan kata menyetor sebelum kata-kata proposal proyek. Kalau majalah
TEMPO tidak bemaksud buruk, tentunya
akan menggunakan kata menyerahkan,
mengajukan dan menyampaikan dan yang lainnya sebelum kata-kata proposal proyek, karena kalau
menggunakan kata menyetor, maka yang menjadi objek disetorkan sudah pasti uang
bukan barang lainnya. Apalagi di dalam kalimat tersebut memang disebutkan uang
sejumlah Rp. 53 miliar, sehingga dapat diduga yang dimaksudkan oleh majalah
TEMPO adalah klien kami menyuap pemerintah DKI Jakarta.
10.
Bahwa dengan pemuatan berita yang cenderung
miring dan sangat tendensius tersebut, seharusnya majalah TEMPO yang dibaca
oleh banyak orang dari berbagai macam kalangan, mengetahui, menyadari dan
sepatutnya dapat menduga akan dampak dan akibat yang ditimbulkan terhadap
berita tersebut, yang mengakibatkan kemarahan dari orang-orang yang menjadi
korban kebakaran Pasar Tanah Abang atau pengusaha yang berjualan di Pasar Tanah
Abang itu tertuju secara langsung kepada klien kami Bapak Tomy Winata.
Berdasarkan
hal-hal yang diuraikan di atas, maka dengan ini kami mensomasi atau memperingati
kepada majalah TEMPO, agar selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 14 hari
sejak tanggal surat ini untuk membuat pernyataan :
·
Mengakui bahwa penyebutan atau menjuluki klien
kami Bapak Tomy Winata sebagai pemulung besar merupakan suatu kesalahan.
·
Memohon maaf atas kesalahan telah menyebutkan
atau menjuluki klien kami Bapak Tomy Winata sebagai pemulung besar.
·
Meluruskan berita yang menyebutkan bahwa klien
kami Bapak Tomy Winata telah menyetorkan proposal proyek sejak 3 bulan yang
lalu. Pernyataan di atas dimuat atau diumumkan pada Surat Kabar Kompas, Bisnis Indonesia, Majalah Investasi, dan
Majalah TEMPO.
Somasi itu bukan saja teguran, tetapi juga ajakan
kepada Pimpinan Redaksi TEMPO untuk menimbang ulang materi dan cara
pemberitaannya dan sama-sama merenungkan akibat pemberitaan itu. Prinsipnya ,
Tomy Winata berupaya mengajak TEMPO untuk menyelesaikan kesalahan
pemberitaannya secara damai dan kekeluargaan.
Teguran dan somasi itu adalah agar pihak TEMPO
mengakui bahwa penyebutan atau menjuluki Tomy Winata sebgai pemulung besar
merupakan kesalahan. Untuk itu, TEMPO di minta untuk melakukan permohonan maaf
atas kesalahan telah menyebutkan atau menjuluki Tomy Winata sebagai pemulung
besar. Di samping itu TEMPO juga diminta untuk meluruskan berita yang menyebutkan
bahwa Tomy Winata telah menyetor proposal proyek renovasi Pasar Tanah Abang
sejak tiga bulan sebelum kebakaran.
v
Tempo Menolak Somasi
Setelah mengirimkan surat somasi
pada jumat, 7 Maret 2003, kuasa hokum Tomy Winata menggelar konferensi Pers di
Restoran Sari Kuring, Kompleks SCBD, Jakarta Selatan, Sabtu 8 Maret 2003,
sekitar pukul 11 siang.
Namun, di tempat lain, tepatnya di kantor redaksi
majalah TEMPO jln. Proklamasi No. 72 Jakarta Pusat, beberapa orang yang mengaku
sebagai karyawan Grup Artha Graha dan anggota Banteng Muda Indonesia berunjuk
rasa, sebagai apresiasi simpati mereka kepada Tomy Winata dan bentuk kekecewaan
terhadap berita TEMPO edisi 3-9 2003 berjudul “Ada Tomy di Tenabang”?”. Unjuk
rasa ini, seperti di tulis oleh sejumlah media, diwarnai kekerasan, antara lain
pelemparan kotak tisu yng terbuat dari
kayu kepada salah seorang wartawan TEMPO.
Tomy Winata pun telah membantah
tuduhan bahwa ia menggerakkan unjuk rasa tersebut. Namun begitu, media tetap
saja menggambarkan Tomy sebagai tokoh di belakang layar aksi unjuk rasa itu,
sebagaimana tuduhan yang sama di tujukan padanya pasca-pengrusakan kantor
Humanika di Jakarta Selatan beberapa waktu sebelumnya. Dengan mudah
dapatlah diketahui, bahwa unjuk rasa itu
akan berakibat negative bagi citra Tomy Winata. Oleh karena itu, dan berkaca
dari kasus Humanika, adalah naïf secara logis jika Tomy Winata memerintahkan
atau mengetahui sebelumnya tapi membiarkan terjadinya unjuk rasa dan kekerasan
tersebut.
Somasi Tomy Winata, dan tindak pidana kekerasan dalam
unjuk rasa tersebut adalah dua masalah hokum yang berbeda, dengan subyek hokum
yang berbeda pula. Dan keduanya harus diselesaikan melalui mekanisme hokum.
Kekerasan dalam bentuk apapun, tidak hanya kepada institusi pers, harus kita
lawan dan selesaikan secara hokum, bukan dilawan secara kekerasan juga, atau
dengan mempolitisasi masalah. Demikian pula fitnah dan pencemaran nama baik,
tidak dilawan dengan balik melakukan fitnah, pencemaran nama baik, atau
penghinaan. Di sinilah letak fungsi strategis pers nasional, bukan saja ia
tetap harus proporsional memberitakan kedua masalah tersebut, menjaga asas
praduga tak bersalah sebelum adanya vonis pengadilan, juga mengajarkan
pendidikan hukum kepada masyarakat.
Setelah
unjuk rasa itu, baik pemimpin redaksi Bambang Harymurti maupun Pemimpin
umum/Redaktur Senior Fikri Jufri menyatakan menolak memenuhi tuntutan somasi.
Keduanya menyatakn memilih jalur hokum untuk menyelesaikan perselisihan Majalah
Berita Mingguan TEMPO dengan Tomy Winata.
Menyikapi
pernyataan terbuka pihak TEMPO itu, Tomy Winata dengan didampingi kuasa
hukumnya pada tanggal 11 Maret 2003 melaporkan Pemimpin Redaksi atau Penanggung
Jawab Majalah TEMPO kepada POLDA Metro Jaya karena isi pemberitaan Majalah
TEMPO edisi 3-9 Maret 2003 telah menfitnah dan atau mencemarkan nama baiknya
(pasal 310 dan Pasal 311 KUHP-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
v
Menurut UU Pers.
Jika ditelisik materi pemberitaan tersebut berdasar Undang-Undang
No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, TEMPO telah menyalahi ketentuan Pasal 6 ayat
(c), tentang tugas pers nasional untuk mengembangkan
pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
Selain tanpa data yang akurat, isi berita tersebut
juga menimbulkan kesan bahwa Tomy Winata berada berada di belakang layar
peneyebab terbakarnya Pasar Tanah Abang. Dengan menggunakan kata menyetor
sebelum kata-kata proposal proyek,
berita TEMPO itu juga menimbulkan seolah-olah Tomy Winata telah memberi uang
kepada aparat Pemerintah DKI Jakarta. Kalau majalah TEMPO tidak bermaksud
buruk, tentunya akan menggunakan kata menyerahkan,
mengajukan dan menyampaikan dan yang lainnya sebelum kata-kata proposal
proyek, karena kalau menggunakan kata menyetor, maka yang menjadi disetorkan
sudah pasti uang, bukan barang lainnya. Apalagi di dalam kalimat tersebut
memang disebutkan uang sejumlah Rp. 53 miliar, sehingga dapat diduga yang
dimaksudkan oleh TEMPO adalah Tomy Winata menyuap Pemerintah DKI Jakarta.
Dengan mencampuradukkan antara
fakta dan opini tersebut, bukan saja TEMPO tidak mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang akurat dan benar, TEMPO juga telah tidak menjalankan
kewajibannya untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormat asas
praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat (1).
Sigma atau julukan TEMPO kepada Tomy Winata sebagai “Pemulung Besar”, yang
tidak ada relevansinya dengan materi pemberitaan yang hendak disampaikan TEMPO,
menjadi alasan yang kuat munculnya dugaan bahwa penyebutan atau julukan
pemulung besar tersebut adalah semata-mata untuk merendahkan, melecehkan dan
mencemarkan nama baik Tomy Winata. Tindakan itu jelas bertentangan Pasal 3 ayat (1) UU Pers, yang menyatakan
bahwa Pers nasional berfungsi sebagai
media informasi, pendidikan, hiburan dan control social.
v
Menurut Kode Etik
1.
Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk
memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber
informasi (KEWI, butir 2).
2.
Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak
bersalah, tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang dan meneliti kebenaran
informasi serta tidak plagiat (KEWI, butir 3).
3.
Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi
yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas
korban kejahatan susila. (KEWI, butir 4).
Pasca unjuk rasa 8 Maret 2003, TEMPO menyatakan memilih pengadilan untuk
menanggapi somasi Tomy Winata. Karena itu, dengan didampingi kuasa hukumnya
pada 11 Maret 2003 Tomy Winata telah mengajukan laporan kepada Polda Metro Jaya
atas fitnah dan atau pencemaran nama baiknya oleh Pemimpin Redaksi atau
Penanggung Jawab Majalah Berita Mingguan TEMPO.
v
Pengaburan dan Pembiasan Isu
Kasus hokum Tomy Winata versus
TEMPO yang sederhana itu telah dibiaskan oleh sebagian kalangan jurnalis,
sengaja atau tidak, dengan lalai memberitakan somasi dan langkah hokum Tomy
Winata. Padahal, konferensi Pers yang digelar kuasa hokum Tomy Winata tentang
somasi kliennya terhadap TEMPO, diadakan pada hari Sabtu, 8 Maret 2003. Berita
hamper di seluruh media kita, khusunya cetak, memberitakan kasus Tomy Winata
dan TEMPO justru dari angle kekerasan
dalam unjuk rasa juga terjadi pada 8 Maret itu.
Termasuk
TEMPO, melakukan smoke screen politics
atau pola tabir asap dengan blow opinion dan
pengalihan isu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar