Senin, 30 April 2012

Contoh KASUS "MEDIA dan Masyarakat"


Tomy Winata versus TEMPO



Kata-kata adalah alat pokok dalam pekerjaan ini. Bila kau tak bisa mengeja dengan tepat atau tidak bisa memakai kata-kata dengan efektif dan akurat, kau tidak tepat untuk masuk dalam peraturan surat kabar.
Dunia JURNALISTIK adalah perangkaian kata dari fakta. Atau tepatnya, perangkaian kata-kata dalam mengkontruksi suatu fakta sesuai persepsi jurnalis yang menuturkannya. Kesalahan memilih dan merangkai kata akan berpengaruh terhadap keakuratan dan efektivitas penulisan. Singkatnya,  kata akan memainkan arti penting dalam penulisan satu tema dan akurasi penyajian fakta.
“ada Tomy di ‘Tenabang’?”. Sebagai judul berita yang di muat dalam rubrikasi nasional majalah berirta mingguan TEMPO edisi 3-9 Maret 2003 halaman 30-31, merupakan bukti dari kecakapan bertutur dan berkata-kata untuk menutupi adanya fakta dan informasi yang tidak akurat dan benar. Ketidak akuratan itu juga terlihat pada penulisan lead (pembuka) berita tersebut. “Konon Tomy Winata mendapat proyek renovasi pasar Tanah Abang senilai Rp. 53 miliar. Proposal sudah di ajukan sebelum kebakaran”. Dalam hal ini, yakni pada penggunaan kata “Konon” yang menunjukkan tidak di kuasainya fakta dan informasi akurat yang benar. Bahkan lebih dari itu, bisa dibaca sebagai gaya penulisan yang menutupi design isu membunuh karakter Tomy Winata.
Selain kata “Konon”, tulis Sirikit Syah dalam kata pengantar, lead itu rancu karena kata “Mendapatkan Proyek” dan “Proposal sudah di ajukan” adalah dua hal yang tidak identik. Pengertian kita tentang “mendapatkan” adalah bahwa proposal sudah disetujui dan kontrak sudah diteken.
Untuk mengklarifikasi sejumlah isu dalam berita itu, Tomy Winata melalui kuasa hukumnya dari Law Office Tread & Assosiate mengajukan surat s omasi tanggal 6 maret 2003 kepada Pimpinan Redaksi Majalah TEMPO.
Mengapa Somasi?
“Ada Tomy di Tenabang”? mengangkat isu tentang rencana renovasi Pasar Tanah Abang pasca-peristiwa kebakaran. Menurut sumber anonim TEMPO, yaitu seorang kontraktor arsitektur, Tomy winata telah menyetor proposal renovasi Pasar Tanah Abang tiga bulan sebelum peristiwa kabakaran terjadi. Konfirmasi dari Wali Kota Jakarta Pusat Khosea Petra Lumbun tentang Proyek Sentra Bisnis Primer Tanah Abang dimuat untuk menguatkan informasi dari sumber anonym tersebut. Dimuat juga wawancara dengan Tomy winata, yang membantah isu adanya proposal yang dimaksud. Tulisan TEMPO bahwa proposal renovasi Pasar Tanah Abang telah diajukan Tomy Winata tiga bulan sebelum kebakaran Pasar Tanah Abang, dengan belum jelasnya sebab-sebab kebakaran tersebut, dan pencitraan Tomy Winata sebagai “Pemulung Besar” yang akan menangguk keuntungan besar dari kebakaran itu, serta style penulisan yang bersifat tendensius, insinuative dan provokatif, telah menimbulkan kesan seolah-olah Tomy Winata berada dibelakang layar penyebab terbakarnya Pasar Tanah Abang.
Akibat berita itu, Tomy Winata menerima belasan sms (short message service) dari orang-orang yang mengaku korban kebakaran Pasar Tanah Abang, yang mengancam keselamatan diri, keluarga dan bisnisnya. Mereka dirugikan oleh berita TEMPO yang mencemarkan nama baiknya itu, Tomy Winata melalui kuasa hukumnya mengirimkan somasi kepada Pimpinan Redaksi TEMPO, Bambang Harymurti. Berikut point-point surat somasi tertanggal 6 Maret 2003 itu :

1.    Bahwa didalam majalah TEMPO edisi 3-9 Maret 2003 pada halaman30-31 dengan judul “Ada Tomy di Tenabang’?”. Terdapat berita yang isinya berbunyi sebagai berikut :
Dari musibah kebakaran, rabu dua pecan lalu, suwarti dan rekan-rekannya mungkin menangguk lebih banyak penghasilan ketimbang sebelumnya. Tapi juga, “Pemulung Besar” Tomy Winata, nantinya. Pengusaha dari Group Artha Graha ini, kata seorang kontrakror arsitektur kepada TEMPO, sejak tiga bulan lalu sudah menyetor proposal proyek renovasi Sentra Bisnis Primer Tanah Abang senilai Rp. 53 miliar ke pemerintah DKI Jakarta.

2.    Bahwa didalam berita yang dikutip di atas terdapat kata yang menyebutkan klien kami adalah pemulung besar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Pemulung (orang yang memulung) berarti orang yang mencari bafkah dengan jalan mencari dan memungut serta memanfaatkan barang bekas (seperti punting rokok) dengan cara menjualnya kepada pengusaha yang kan mengolahnya kembalai menjadi barang komoditas.

3.     Bahwa dilihat dari sudut pandang manapun juga, dengan pengertian di atas, jelaslah pemulung merupakan suatu pekerjaan yang dipandang rendah, sekalipunsetelah kata pemulung ada penambahan kata besar.

4.       Bahwa dalam keseharian, pemulung adalah berpakaiaan dekil yang pekerjaannya memungut barang-barang bekas atau tidak dipakai lagi dan sudah tidak mempunyai nilai ekonomi lagi.

5.     Bahwa klien kami dikenal luas sebagai pengusaha yng memiliki berbagai usaha, sehingga dilihat dari sudut pandang apapun sangatlh tidak pantas digolongkan sebagai pemulung, sekalipun sebagai pemulung besar. Kalau yang dimaksud adlah barang-barang bekas yang besar dan kemudian dijual kembali kepada pengusaha lain, maka penyebutan kepada pemulung besar kepada klien kami juga sangat tidak tepat, karena klien kami tidak pernah melakukan usaha atau menjalankan bisnis yang dapat dipersamakan dengan pekerjaan seorang pemulung, lagipula barang-barang dalam pengertian tersebut, tentu saja tidak ada.

6.     Bahwa dari susunan kalimat pemberitaan yang dikutip di atas, jelas terlihat bahwa penyebutan kata pemulung besar bukan berasal dari sumber berita, tetapi murni berasal dari intern majalah TEMPO sendiri, atau dapat juga diartikan majalah TEMPO telah member julukan kepada klien kami sebagai pemulung besar. Perbuatan tersebut merupakan pelecehan terhadap harga diri klien kami.

7.       Bahwa dengan pengertian dari kata pemulung (besar) sebagaimana di atas, maka tindakan yang dilakukan oleh majalah TEMPO sangatlah merugikan klien kami sebagai seorang kepala keluarga, pengusahan dan individu warga Negara. Majalah TEMPO yang di kelolah dan dijalankan orang-orang bijak dan intelektual tentunya menyadari akibat negative yang ditimbulkan dari penyebutan atau menjuluki klien kami sebagai pemulung besar terhadap perasaan istri dan anak-anak klien kami dalam bermasyarakat dan dalam pergaulan sebagai seorang pengusaha. Dan majalah TEMPO tentunya juga sangat menyadari, bahwa majalah TEMPO dibaca oleh banyak orang.

8.       bahwa apabila dipandang dari sudut pemberitaan, maka penyebutan kata pemulung besar tersebut sangatlah tidak ada relevansinya dengan materi pemberitaan yang hendak disampaikan majalah TEMPO. Sehingga sangat beralasan kalau kami menduga, penyebutan atau menjuluki pemulung besar tersebut adalah semata-mata untuk merendahkan, melecehkan, dan mencemarkan nama baik klien kami. Tindak tersebut jelas bertentangan  dengan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang  No. 4O Tahun 1999 tentang Pers, yang menyebutkan, bahwa Pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan control social. Dengan pelecehan tersebut fungsi  pendidikan yang bagaimana yang hendak dijalankan oleh majalah TEMPO.

9.       Bahwa tentang proposal proyek sebagaimana diberitakan di atas sesuai dengan bantahan dari klien kami yang memuat oleh majalah TEMPO pada alinea selanjutnya adalah tidak benar pernah diajukan oleh klien kami, tetapi yang mengherankan dari judul berita dan materi pemberitaan yang dikedepankan tetap seolah-olah klien kami adalah orang yang berada di belakang layar yang menyebabkan Pasar Tanah Abang terbakar. Sebagaimana dimaksud dari salahsatu kalimat dari alinea yang dikutip di atas menyebutkan, sejak tiga bulan yang lalu klien kami telah menyetorkan proposal renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp. 53 miliar. Isi berita tersebut, selain menimbulkan kesan klien kami yang berada di belakang layar  penyebab terbakarnya Pasar Tanah Abang, juga menimbulkan kesan seolah-olah klien kami telah memberi uang kepada aparat Pemerintah DKI Jakarta, hal ini dikarenakan majalah TEMPO menggunakan kata menyetor  sebelum kata-kata proposal proyek. Kalau majalah TEMPO  tidak bemaksud buruk, tentunya akan menggunakan kata menyerahkan, mengajukan dan menyampaikan dan yang lainnya sebelum kata-kata proposal proyek, karena kalau menggunakan kata menyetor, maka yang menjadi objek disetorkan sudah pasti uang bukan barang lainnya. Apalagi di dalam kalimat tersebut memang disebutkan uang sejumlah Rp. 53 miliar, sehingga dapat diduga yang dimaksudkan oleh majalah TEMPO adalah klien kami menyuap pemerintah DKI Jakarta.

10.   Bahwa dengan pemuatan berita yang cenderung miring dan sangat tendensius tersebut, seharusnya majalah TEMPO yang dibaca oleh banyak orang dari berbagai macam kalangan, mengetahui, menyadari dan sepatutnya dapat menduga akan dampak dan akibat yang ditimbulkan terhadap berita tersebut, yang mengakibatkan kemarahan dari orang-orang yang menjadi korban kebakaran Pasar Tanah Abang atau pengusaha yang berjualan di Pasar Tanah Abang itu tertuju secara langsung kepada klien kami Bapak Tomy Winata.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka dengan ini kami mensomasi atau memperingati kepada majalah TEMPO, agar selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal surat ini untuk membuat pernyataan :
·         Mengakui bahwa penyebutan atau menjuluki klien kami Bapak Tomy Winata sebagai pemulung besar merupakan suatu kesalahan.
·         Memohon maaf atas kesalahan telah menyebutkan atau menjuluki klien kami Bapak Tomy Winata sebagai pemulung besar.
·         Meluruskan berita yang menyebutkan bahwa klien kami Bapak Tomy Winata telah menyetorkan proposal proyek sejak 3 bulan yang lalu. Pernyataan di atas dimuat atau diumumkan pada Surat Kabar Kompas, Bisnis Indonesia, Majalah Investasi, dan Majalah TEMPO.
Somasi itu bukan saja teguran, tetapi juga ajakan kepada Pimpinan Redaksi TEMPO untuk menimbang ulang materi dan cara pemberitaannya dan sama-sama merenungkan akibat pemberitaan itu. Prinsipnya , Tomy Winata berupaya mengajak TEMPO untuk menyelesaikan kesalahan pemberitaannya secara damai dan kekeluargaan.
Teguran dan somasi itu adalah agar pihak TEMPO mengakui bahwa penyebutan atau menjuluki Tomy Winata sebgai pemulung besar merupakan kesalahan. Untuk itu, TEMPO di minta untuk melakukan permohonan maaf atas kesalahan telah menyebutkan atau menjuluki Tomy Winata sebagai pemulung besar. Di samping itu TEMPO juga diminta untuk meluruskan berita yang menyebutkan bahwa Tomy Winata telah menyetor proposal proyek renovasi Pasar Tanah Abang sejak tiga bulan sebelum kebakaran.

v  Tempo Menolak Somasi
Setelah mengirimkan surat somasi pada jumat, 7 Maret 2003, kuasa hokum Tomy Winata menggelar konferensi Pers di Restoran Sari Kuring, Kompleks SCBD, Jakarta Selatan, Sabtu 8 Maret 2003, sekitar pukul 11 siang.
Namun, di tempat lain, tepatnya di kantor redaksi majalah TEMPO jln. Proklamasi No. 72 Jakarta Pusat, beberapa orang yang mengaku sebagai karyawan Grup Artha Graha dan anggota Banteng Muda Indonesia berunjuk rasa, sebagai apresiasi simpati mereka kepada Tomy Winata dan bentuk kekecewaan terhadap berita TEMPO edisi 3-9 2003 berjudul “Ada Tomy di Tenabang”?”. Unjuk rasa ini, seperti di tulis oleh sejumlah media, diwarnai kekerasan, antara lain pelemparan  kotak tisu yng terbuat dari kayu kepada salah seorang wartawan TEMPO.
Tomy Winata pun telah membantah tuduhan bahwa ia menggerakkan unjuk rasa tersebut. Namun begitu, media tetap saja menggambarkan Tomy sebagai tokoh di belakang layar aksi unjuk rasa itu, sebagaimana tuduhan yang sama di tujukan padanya pasca-pengrusakan kantor Humanika di Jakarta Selatan beberapa waktu sebelumnya. Dengan mudah dapatlah  diketahui, bahwa unjuk rasa itu akan berakibat negative bagi citra Tomy Winata. Oleh karena itu, dan berkaca dari kasus Humanika, adalah naïf secara logis jika Tomy Winata memerintahkan atau mengetahui sebelumnya tapi membiarkan terjadinya unjuk rasa dan kekerasan tersebut.
Somasi Tomy Winata, dan tindak pidana kekerasan dalam unjuk rasa tersebut adalah dua masalah hokum yang berbeda, dengan subyek hokum yang berbeda pula. Dan keduanya harus diselesaikan melalui mekanisme hokum. Kekerasan dalam bentuk apapun, tidak hanya kepada institusi pers, harus kita lawan dan selesaikan secara hokum, bukan dilawan secara kekerasan juga, atau dengan mempolitisasi masalah. Demikian pula fitnah dan pencemaran nama baik, tidak dilawan dengan balik melakukan fitnah, pencemaran nama baik, atau penghinaan. Di sinilah letak fungsi strategis pers nasional, bukan saja ia tetap harus proporsional memberitakan kedua masalah tersebut, menjaga asas praduga tak bersalah sebelum adanya vonis pengadilan, juga mengajarkan pendidikan hukum kepada masyarakat.
               Setelah unjuk rasa itu, baik pemimpin redaksi Bambang Harymurti maupun Pemimpin umum/Redaktur Senior Fikri Jufri menyatakan menolak memenuhi tuntutan somasi. Keduanya menyatakn memilih jalur hokum untuk menyelesaikan perselisihan Majalah Berita Mingguan TEMPO dengan Tomy Winata.
               Menyikapi pernyataan terbuka pihak TEMPO itu, Tomy Winata dengan didampingi kuasa hukumnya pada tanggal 11 Maret 2003 melaporkan Pemimpin Redaksi atau Penanggung Jawab Majalah TEMPO kepada POLDA Metro Jaya karena isi pemberitaan Majalah TEMPO edisi 3-9 Maret 2003 telah menfitnah dan atau mencemarkan nama baiknya (pasal 310 dan Pasal 311 KUHP-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).  
    
v  Menurut UU Pers.
Jika ditelisik materi  pemberitaan tersebut berdasar Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, TEMPO telah menyalahi ketentuan Pasal 6 ayat (c), tentang tugas pers nasional untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
Selain tanpa data yang akurat, isi berita tersebut juga menimbulkan kesan bahwa Tomy Winata berada berada di belakang layar peneyebab terbakarnya Pasar Tanah Abang. Dengan menggunakan kata menyetor sebelum kata-kata proposal proyek, berita TEMPO itu juga menimbulkan seolah-olah Tomy Winata telah memberi uang kepada aparat Pemerintah DKI Jakarta. Kalau majalah TEMPO tidak bermaksud buruk, tentunya akan menggunakan kata menyerahkan, mengajukan dan menyampaikan dan yang lainnya sebelum kata-kata proposal proyek, karena kalau menggunakan kata menyetor, maka yang menjadi disetorkan sudah pasti uang, bukan barang lainnya. Apalagi di dalam kalimat tersebut memang disebutkan uang sejumlah Rp. 53 miliar, sehingga dapat diduga yang dimaksudkan oleh TEMPO adalah Tomy Winata menyuap Pemerintah DKI Jakarta.
Dengan mencampuradukkan antara fakta dan opini tersebut, bukan saja TEMPO tidak mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang akurat dan benar, TEMPO juga telah tidak menjalankan kewajibannya untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormat asas praduga  tak bersalah (Pasal 5 ayat (1). Sigma atau julukan TEMPO kepada Tomy Winata sebagai “Pemulung Besar”, yang tidak ada relevansinya dengan materi pemberitaan yang hendak disampaikan TEMPO, menjadi alasan yang kuat munculnya dugaan bahwa penyebutan atau julukan pemulung besar tersebut adalah semata-mata untuk merendahkan, melecehkan dan mencemarkan nama baik Tomy Winata. Tindakan itu jelas bertentangan  Pasal 3 ayat (1) UU Pers, yang menyatakan bahwa Pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan control social.

v  Menurut Kode Etik
1.       Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi (KEWI, butir 2).
2.       Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang dan meneliti kebenaran informasi serta tidak plagiat (KEWI, butir 3).
3.       Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. (KEWI, butir 4).
Pasca unjuk rasa 8 Maret 2003, TEMPO menyatakan memilih pengadilan untuk menanggapi somasi Tomy Winata. Karena itu, dengan didampingi kuasa hukumnya pada 11 Maret 2003 Tomy Winata telah mengajukan laporan kepada Polda Metro Jaya atas fitnah dan atau pencemaran nama baiknya oleh Pemimpin Redaksi atau Penanggung Jawab Majalah Berita Mingguan TEMPO.

v  Pengaburan dan Pembiasan Isu
Kasus hokum Tomy Winata versus TEMPO yang sederhana itu telah dibiaskan oleh sebagian kalangan jurnalis, sengaja atau tidak, dengan lalai memberitakan somasi dan langkah hokum Tomy Winata. Padahal, konferensi Pers yang digelar kuasa hokum Tomy Winata tentang somasi kliennya terhadap TEMPO, diadakan pada hari Sabtu, 8 Maret 2003. Berita hamper di seluruh media kita, khusunya cetak, memberitakan kasus Tomy Winata dan TEMPO justru dari angle kekerasan dalam unjuk rasa juga terjadi pada 8 Maret itu.
               Termasuk TEMPO, melakukan smoke screen politics atau pola tabir asap dengan blow opinion dan pengalihan isu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar