Pengaruh Gencarnya
Pemberitaan Video Asusila di Media Massa Terhadap Perilaku Masyarakat
PENDAHULUAN
Perkembangan media massa, khususnya
media televisi, di Indonesia akhir-akhir ini kian marak. Kehadiran televisi di
mata sebagian besar masyarakat Indonesia memberikan nilai lebih dibanding
dengan media massa lain seperti surat kabar, majalah, atau tabloid. Bagi
masyarakat, televisi tidak hanya mampu memberikan informasi, berita, dan
literasi yang selama ini diperankan oleh media massa cetak. Namun, televisi
juga mampu menawarkan beragam program alternative lainnya, seperti hiburan,
musik, bahkan infotainment yang dapat disaksikan atau dinikmati secara lebih
cepat, dan langsung (live). Kecepatan dalam penyajian inilah yang tidak dapat
dijawab oleh media massa cetak.
Karena begitu menggiurkannya prospek bisnis media televisi, berbagai kalangan dunia usaha berlomba-lomba untuk masuk ke area komunikasi massa itu untuk menjadikannya sebagai dunia industri. Dimulai dari RCTI, yang berdiri pada tahun 1989, selanjutnya berbagai televisi swasta terus bermunculan. Hingga tahun 2010, tercatat puluhan saluran televisi swasta yang berhimpun dalam holding company-nya masing-masing.
Di antaranya, MNC Group yang memiliki RCTI, Global TV, dan TPI. Kemudian, Trans Group dengan Trans TV dan Trans 7; Media Group, melalui Metro TV; Jawa Pos Group dengan JTV, MK TV, RTV Pekan Baru, Batam TV, dan SBO; serta yang terakhir adalah Bakri Group yang memiliki ANTV dan TV One, yang merupakan reinkarnasi dari stasiun televisi lama Lativi. Selain melebarkan segmentasi pangsa pasar dengan mendirikan banyak media massa televisi, holding company masing-masing group di atas juga melebarkan jaringan medianya dengan mendirikan atau membentuk media massa cetak, baik berupa surat kabar harian, majalah, maupun tabloid dengan beragam tema dan sasaran targetnya. Misalnya, Media Group yang mendirikan Media Indonesia; MNC yang memiliki Seputar Indonesia (SINDO); maupun Jawa Pos Group yang memiliki media cetak harian Jawa Pos dan jaringan Jawa Pos News Network (JPNN).
Karena begitu menggiurkannya prospek bisnis media televisi, berbagai kalangan dunia usaha berlomba-lomba untuk masuk ke area komunikasi massa itu untuk menjadikannya sebagai dunia industri. Dimulai dari RCTI, yang berdiri pada tahun 1989, selanjutnya berbagai televisi swasta terus bermunculan. Hingga tahun 2010, tercatat puluhan saluran televisi swasta yang berhimpun dalam holding company-nya masing-masing.
Di antaranya, MNC Group yang memiliki RCTI, Global TV, dan TPI. Kemudian, Trans Group dengan Trans TV dan Trans 7; Media Group, melalui Metro TV; Jawa Pos Group dengan JTV, MK TV, RTV Pekan Baru, Batam TV, dan SBO; serta yang terakhir adalah Bakri Group yang memiliki ANTV dan TV One, yang merupakan reinkarnasi dari stasiun televisi lama Lativi. Selain melebarkan segmentasi pangsa pasar dengan mendirikan banyak media massa televisi, holding company masing-masing group di atas juga melebarkan jaringan medianya dengan mendirikan atau membentuk media massa cetak, baik berupa surat kabar harian, majalah, maupun tabloid dengan beragam tema dan sasaran targetnya. Misalnya, Media Group yang mendirikan Media Indonesia; MNC yang memiliki Seputar Indonesia (SINDO); maupun Jawa Pos Group yang memiliki media cetak harian Jawa Pos dan jaringan Jawa Pos News Network (JPNN).
Semakin berjubelnya stasiun televisi
swasta kian menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung menyukai budaya
menonton televisi daripada membaca ataupun menulis. Ini dibuktikan dengan
adanya survei Ac Nielsen di tahun 1999 bahwa, 61 % sampai 91 % masyarakat
Indonesia suka menonton televisi. Hasil tersebut lebih lanjut menjelaskan,
bahwa hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar di Indonesia lebih
memilih menonton televisi setiap hari. Sedangkan 4 dari 10 orang lebih memilih
atau lebih suka mendengarkan radio. (Media Indonesia: 19 November 1999)
Survei Ac Nielsen diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2006 yang memaparkan fakta bahwa, budaya membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen. Padahal, prasyarat terpenuhinya masyarakat literasi adalah bila budaya membaca berada di kisaran 80 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding menonton televisi yang mencapai 70 persen lebih. (BPS: 2006)
Survei Ac Nielsen diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2006 yang memaparkan fakta bahwa, budaya membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen. Padahal, prasyarat terpenuhinya masyarakat literasi adalah bila budaya membaca berada di kisaran 80 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding menonton televisi yang mencapai 70 persen lebih. (BPS: 2006)
Menjamurnya stasiun televisi, pada satu
sisi menggembirakan, karena alternatif hiburan untuk masyarakat menjadi semakin
beragam. Sehingga, pemilik televisi dituntut untuk lebih selektif menciptakan program
agar disukai dan diminati oleh masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain banyaknya
stasiun televisi tersebut justru menciptakan kesamaan tema tayangan yang
disajikan kepada masyarakat. Ironisnya, kesamaan tema program-program tersebut
berdampak negatif terhadap kondisi psikis masyarakat, yang tidak saja berdampak
terhadap moralitasnya, akan tetapi juga terimplementasi dalam tindakan/perilaku
nyata.
Contoh yang terbaru adalah saat terkuak
adanya video asusila yang pelakunya mirip artis papan atas. Seluruh stasiun
televisi ramai-ramai memberitakannya, mem-blow up¬-nya secara besar-besaran
berita tersebut. Sampai-sampai, sejak pagi hingga malam hari, berita itu terus
ditayangkan, seolah ruang dan waktu pemirsa dijejali dengan tayangan-tayangan
yang diformat dalam program infotainment tersebut. Pertanyaannya adalah
seberapa besar dampak atau efek komunikasi pesan yang disampaikan oleh media
massa televisi (komunikator) melalui pemberitaan tentang beredarnya video
asusila tersebut terhadap masyarakat (komunikan/komunikate)? Inilah yang
menarik untuk dikaji.
KAJIAN TEORI
Komunikasi adalah proses pernyataan
antarmanusia. Yang dinyatakan adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada
orang lain dengan memakai bahasa sebagai alat penyalurnya. Komunikasi juga
mempunyai pemahaman proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikate
(orang/pihak yang diajak komunikasi) dan komunikan (orang/pihak-pihak lain yang
terlibat dalam komunikasi). Pesan dari komunikasi terdiri atas dua aspek.
Pertama, isi pesan (the content of the message), dan kedua, lambang (symbol).
Konkretnya, isi pesan komunikasi adalah pikiran atau perasaan, serta lambang
lebih mempunyai makna ke dalam bahasa.
Proses komunikasi sendiri ada dua
perspektif, yaitu perspektif psikologis dan perspektif mekanistis. Proses
komunikasi perspektif psikologis menitikberatkan pada bagaimana proses
penyampaian pesan tersebut terjadi pada diri komunikator dan atau
komunikan/komunikate. Ketika seorang komunikator berniat menyampaikan sesuatu
pesan kepada komunikan, maka dalam dirinya terjadi proses. Apabila komunikan
mengerti atau memahami akan isi pesan atau pikiran komunikator, maka komunikasi
di antara dua pihak telah terjadi. Namun sebaliknya, bila komunikan dan
komunikate tidak mengerti terhadap pesan komunikasi yang disampaikan, maka
komunikasi yang dimaksud tidak terjadi.
Sedangkan pada perspektif mekanistis,
proses komunikasi berlangsung saat komunikator melemparkannya dengan bibir
kalau lisan, atau tangan/visual/gambar apabila tulisan atau tayangan pesannya
sampai ditangkap komunikan. Bila komunikannya adalah satu orang, maka disebut
dengan komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi. Apabila
komunikannya banyak, termasuk terdiri dari berbagai kelompok dan membutuhkan
sarana atau media, maka komunikasi tersebut disebut dengan komunikasi massa.
(Onong: 2003)
Dari sisi teoritis, model komunikasi
dari Harold Lasswell dianggap oleh para pakar komunikasi sebagai salah satu
teori komunikasi yang paling awal dalam perkemban gan teori komunikasi.
Lasswell menyatakan, cara yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi
adalah menjawab pertanyaan: who says what in which channel to whom with what
effect (siapa mengatakan apa melalui saluran apa kepada siapa dengan efek apa?
Jawaban bagi pertanyaan paradigmatic Lasswell itu merupakan unsur-unsur proses
komunikasi. Yaitu, communicator (komunikator), message (pesan), chanel (media),
receiver (komunikan/komunikate/penerima), dan effect (efek). Teori ini kemudian
dikenal dengan istilah S-M-C-R. Teori ini juga lazim digunakan oleh media
massa, termasuk televisi, untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasinya.
Teori lain yang lazim digunakan untuk media massa adalah S-O-R Theory (Teori S-O-R). Teori yang merupakan singkatan dari stimulus-organism-respons ini berasal dari psikologi. Kalau kemudian menjadi teori komunikasi, tak mengherankan karena objek material dari psikologi dan ilmu komunikasi adalah sama, yaitu manusia yang jiwanya meliputi komponen-komponen: sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi, dan konatif/behavioral. Teori ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan stimulus respons. Menurut stimulus respons ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang bisa mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Jadi, unsur dalam model ini adalah: pesan (stimulus, S), komunikan (organism, O), dan efek (response, R).
Di sisi lain, dalam ranah ilmu komunikasi, khususnya komunikasi massa juga berkembang teori media. Awalnya, teori ini berkembang pada 1960 an. Namun, mengalami perkembangan yang sangat pesat pada tahun 1980 an dan 1990 an. Dalam bukunya yang berjudul Theories of Human Communication, Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss mengatakan, teori media adalah produksi media yang merespons terhadap berbagai perkembangan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat. Perkembangan itu cukup mempengaruhi perkembangan sosial. Adanya jenis media tertentu seperti televisi mempengaruhi bagaimana kita berpikir tentang dan merespons dunia. Sementara media bekerja dalam berbagai cara untuk segmen masyarakat yang berbeda, audiens, dalam hal ini komunikan dan komunikate tidak semuanya terpengaruh, akan tetapi mereka berinteraksi dalam cara yang khusus dengan media.
Littlejohn membagi teori media ini menjadi dua: teori media klasik dan teori media baru. Teori media klasik dikembangkan oleh Marshall McLuhan pada tahun 1960 an. Tesis McLuhan adalah, manusia beradaptasi terhadap lingkungan melalui keseimbangan atau rasio pemahaman tertentu dan media utama dari massa itu menghadirkan rasio pemahaman tertentu yang mempengaruhi persepsi. McLuhan memandang, setiap media sebagai sebuah perpanjangan pikiran manusia. Sedangkan teori media baru (the second media age) dikembangkan oleh Mark Poster pada tahun 1990. Titik fokus teori ini desentralisasi produksi, komunikasi dua arah, di luar kendali situasi, demokratisasi, serta mengangkat kesadaran individu, dan orientasi individu. (Littlejohn: 2009)
Teori lain yang lazim digunakan untuk media massa adalah S-O-R Theory (Teori S-O-R). Teori yang merupakan singkatan dari stimulus-organism-respons ini berasal dari psikologi. Kalau kemudian menjadi teori komunikasi, tak mengherankan karena objek material dari psikologi dan ilmu komunikasi adalah sama, yaitu manusia yang jiwanya meliputi komponen-komponen: sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi, dan konatif/behavioral. Teori ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan stimulus respons. Menurut stimulus respons ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang bisa mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Jadi, unsur dalam model ini adalah: pesan (stimulus, S), komunikan (organism, O), dan efek (response, R).
Di sisi lain, dalam ranah ilmu komunikasi, khususnya komunikasi massa juga berkembang teori media. Awalnya, teori ini berkembang pada 1960 an. Namun, mengalami perkembangan yang sangat pesat pada tahun 1980 an dan 1990 an. Dalam bukunya yang berjudul Theories of Human Communication, Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss mengatakan, teori media adalah produksi media yang merespons terhadap berbagai perkembangan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat. Perkembangan itu cukup mempengaruhi perkembangan sosial. Adanya jenis media tertentu seperti televisi mempengaruhi bagaimana kita berpikir tentang dan merespons dunia. Sementara media bekerja dalam berbagai cara untuk segmen masyarakat yang berbeda, audiens, dalam hal ini komunikan dan komunikate tidak semuanya terpengaruh, akan tetapi mereka berinteraksi dalam cara yang khusus dengan media.
Littlejohn membagi teori media ini menjadi dua: teori media klasik dan teori media baru. Teori media klasik dikembangkan oleh Marshall McLuhan pada tahun 1960 an. Tesis McLuhan adalah, manusia beradaptasi terhadap lingkungan melalui keseimbangan atau rasio pemahaman tertentu dan media utama dari massa itu menghadirkan rasio pemahaman tertentu yang mempengaruhi persepsi. McLuhan memandang, setiap media sebagai sebuah perpanjangan pikiran manusia. Sedangkan teori media baru (the second media age) dikembangkan oleh Mark Poster pada tahun 1990. Titik fokus teori ini desentralisasi produksi, komunikasi dua arah, di luar kendali situasi, demokratisasi, serta mengangkat kesadaran individu, dan orientasi individu. (Littlejohn: 2009)
Dalam ranah praksisnya, teori-teori
tentang pers juga mengalami dinamisasi. Severin dan Tankard membagi teori pers
di era modern menjadi empat bagian. Yaitu, teori otoriter, liberal, tanggung
jawab sosial, dan totaliter Soviet. Empat teori itu merupakan ”teori normative”
yang berasal dari pengamatan, bukan dari hasil uji dan pembuatan hipotesis
dengan menggunakan metode ilmu sosial. (Werner J. Severin, dan James W. Tankard
Jr: 2005). Dan kebanyakan, media massa di Indonesia, lebih khususnya lagi media
televisi, lebih mengadopsi teori liberal. Sehingga, dalam ranah praksisnya
terkadang meniadakan pertimbangan-pertimbangan sosial, akan tetapi lebih
bersifat penerapan paradigma positivistik.
Berkaitan dengan penyampaian pesan
komunikasi, khususnya komunikator dari media massa kepada komunikannya,
dianggap telah terjadi atau berlangsung bila menimbulkan dampak/efek atau
pengaruh. Efek dari pesan yang disebarkan oleh komunikator melalui media massa
tersebut timbul pada komunikan sebagai sasaran komunikasi. Oleh karena itu,
efek yang melekat pada khalayak merupakan akibat dari perubahan psikologis.
Efek komunikasi sendiri ada tiga macam, yaitu efek kognitif (cognitive effect),
efek afektif (affective effect), dan efek konatif atau yang juga biasa disebut
dengan efek behavioral (behavioral effect).
a.
Efek Kognitif
Berhubungan
dengan pikiran atau penalaran, sehingga khalayak yang semula tidak tahu, yang
tadinya tidak mengerti, yang tadinya bingung menjadi merasa jelas setelah
menerima pesan (message) yang disampaikan oleh komunikator. Contoh pesan
komunikasi melalui media massa televisi yang menimbulkan efek kognitif antara
lain berita, dialog, talkshow, dan lain-lain. Contoh lain dari pesan komunikasi
adalah berita di media cetak, yang sebelumnya orang tidak mengerti tentang informasi
yang berkembang, menjadi tahu.
b.
Efek Afektif
Efek
komunikasi afektif adalah efek komunikasi yang berhubungan dengan perasaan yang
dirasakan, ataupun yang dialami oleh komunikan atau komunikate setelah menerima
pesan yang disampaikan oleh komunikator. Misalnya, akibat membaca surat kabar,
mendengarkan radio, melihat televisi atau film di gedung bioskop, maka timbul
perasaan-perasaan tertentu pada khalayak komunikan atau komunikate. Perasaan
yang timbul pun juga bermacam-macam. Misalnya, sedih, senang, tertawa, kecewa,
takut, penasaran dan lain-lain. Perasaan itu kemudian mempengaruhi kondisi
kejiwaan manusia atau komunikan dan komunikate.
c.
Efek Konatif/Behavioral
Efek
komunikasi yang bersangkutan dengan niat, tekad, upaya, usaha/upaya, yang
cenderung menjadi suatu tindakan atau kegiatan-kegiatan. Karena berbentuk
perilaku, maka efek konatif sering juga disebut dengan efek behavioral. Efek
konatif/behavioral tidak langsung timbul seketika sebagai akibat terpaan media
massa. Melainkan, didahului oleh efek kognitif dan atau efek afektif yang telah
berlangsung sebelumnya. Efek komunikasi ini sekaligus menjadi indikator atau
tolok ukur keberhasilan dari proses penyampaian pesan komunikasi dari pihak komunikator
kepada komunikan.
Jalaluddin
Rakhmat, dalam bukunya Psikologi Komunikasi, menambahkan sisi prososial sebagai
efek-efek lain dari komunikasi massa. Namun, efek prososial yang dimaksudkan
oleh Jalaluddin Rakhmat tersebut lebih mengarah pada hal-hal yang bertujuan
positif, memberi manfaat bagi penerima pesan komunikasi yang dimaksud tersebut.
Efek prososial ini mencakup pada semua aspek, baik aspek kognitif, afektif,
maupun konatif/behavioral.
Menurut
Jalaluddin, media massa (televisi, radio, dan surat kabar) disebut telah
memberi efek prososial bilamana mengabarkan atau memberi nila-nilai yang
bermanfaat bagi atau yang dikehendaki masyarakat. Bila televisi memberi anda
mengerti tentang Bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka televisi tersebut
telah memberikan efek-efek prososial kognitif. Bila majalah memberitakan
tentang penderitaan rakyat miskin dalam memperjuangkan hidup dan mencari makan
di pedesaan, dan hati anda kemudian tergerak, maka media itu telah menghasilkan
efek prososial afektif. Dan bila majalah atau suatu media massa membuka dompet
peduli terhadap korban bencana alam, dan kita ikut tergerak untuk membantu para
korban bencana alam tersebut, maka majalah atau media massa itu telah
menghasilkan efek prososial behavioral. (Rakhmat: 2005)
PEMBAHASAN
Sebagaimana telah dijabarkan dalam Bab II mengenai Kajian Teori, merujuk pada teori yang dikembangkan oleh Harold Lasswell, proses komunikasi itu terdiri atas communicator (komunikator), message (pesan), media/chanel (media), receiver (komunikan/ komunikate/penerima), dan effect (efek), atau S-M-C-R. Dalam hubungannya dengan gencarnya pemberitaan mengenai video asusila, pembahasannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Comunikator adalah televisi, message diwakili oleh isi berita/pemberitaan, kemudian media/chanel-nya berupa program infotainment yang dimiliki oleh media massa televisi yang menyiarkannya, lalu receiver adalah penonton/komunikan/komunikate, dan effect-nya juga telah terpenuhi. Khusus soal efek komunikasi dari contoh di atas tersebut, akan diterangkan pada bagian akhir dari Bab III ini.
Apabila dilihat
berdasarkan teori S-O-R, permasalahan mengenai gencarnya pemberitaan tentang
tayangan video asusila juga dapat digambarkan secara jelas. Bahwa, pesan
(stimulus, S) diidentikkan dengan berita atau pemberitaan tentang beredarnya
tayangan video asusila. Sedangkan, komunikan (organism, O) dalam hal ini adalah
khalayak/penonton yang menyaksikan berita tentang beredarnya tayangan video
asusila tersebut. Sementara efek (response, R) dari gencarnya pemberitaan itu
yang mencakup sisi kognitif, afektif, dan konatif/behavioral, akan dijelaskan
dalam bagian lain di bab III ini.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa penyampaian pesan komunikasi, termasuk apabila komunikatornya berasal dari media massa (televisi), dianggap telah terjadi atau sudah berlangsung apabila menimbulkan dampak/efek atau pengaruh terhadap diri penerima (komunikator) pesan tersebut. Efek dari pesan yang disebarkan oleh komunikator melalui media massa timbul pada komunikan sebagai sasaran komunikasi. Efek komunikasi tersebut ada tiga macam, yaitu efek kognitif (cognitive effect), efek afektif (affective effect), dan efek konatif atau juga biasa disebut dengan efek behavioral (behavioral effect).
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa penyampaian pesan komunikasi, termasuk apabila komunikatornya berasal dari media massa (televisi), dianggap telah terjadi atau sudah berlangsung apabila menimbulkan dampak/efek atau pengaruh terhadap diri penerima (komunikator) pesan tersebut. Efek dari pesan yang disebarkan oleh komunikator melalui media massa timbul pada komunikan sebagai sasaran komunikasi. Efek komunikasi tersebut ada tiga macam, yaitu efek kognitif (cognitive effect), efek afektif (affective effect), dan efek konatif atau juga biasa disebut dengan efek behavioral (behavioral effect).
Mengacu fakta
realitas yang ditayangkan oleh media massa televisi melalui gencarnya
pemberitaan tentang video asusila dengan pelaku mirip artis sebagaimana
disinggung di bagian akhir Bab I di atas, sejatinya telah terjadi atau
memberikan efek-efek terhadap komunikan/komunikate, dalam hal ini adalah penonton
secara umum, lebih khusus lagi kalangan pemuda. Efek tersebut tidak hanya
terjadi pada sisi kognitif, melainkan juga afektif dan konatif/behavioral.
Adapun mengenai efek dari proses komunikasi tersebut, berikut penjelasannya.
a.
Efek Kognitif
Berhubungan
dengan pikiran atau penalaran, jadi khalayak yang semula tidak tahu, yang
tadinya tidak mengerti, menjadi tahu dan mengerti. Dalam kaitannya dengan
contoh di atas, pemberitaan tentang beredarnya video asusila dengan pelaku
mirip artis membuat pemirsa/masyarakat yang semula tidak tahu tentang
beredarnya video asusila tersebut menjadi tahu. Yang semula tidak mengerti
kalau seseorang yang disangka artis (yang bisa jadi merupakan artis idola
komunikan) ternyata melakukan tindakan-tindakan asusila, sebagaimana yang
digambarkan atau diberitakan. Dan tindakan tersebut telah menyebar secara luas
melalui media massa televisi.
Kemengertian pemirsa atau masyarakat semakin tertanam dengan kuat, karena pemberitaan itu tidak hanya bersifat atau berlangsung sekali atau dua kali. Melainkan berulang-ulang. Tidak hanya di satu media massa saja, dalam hal ini televisi, melainkan juga diberitakan di media massa cetak, baik surat kabar, majalah, maupun tabloid. Fenomena ini dapat kita lihat, dimana-mana orang heboh membicarakan video asusila tersebut. Di titik inilah efek kognitif dari pemberitaan media massa terjadi.
Kemengertian pemirsa atau masyarakat semakin tertanam dengan kuat, karena pemberitaan itu tidak hanya bersifat atau berlangsung sekali atau dua kali. Melainkan berulang-ulang. Tidak hanya di satu media massa saja, dalam hal ini televisi, melainkan juga diberitakan di media massa cetak, baik surat kabar, majalah, maupun tabloid. Fenomena ini dapat kita lihat, dimana-mana orang heboh membicarakan video asusila tersebut. Di titik inilah efek kognitif dari pemberitaan media massa terjadi.
b.
Efek Afektif
Efek
komunikasi media massa yang berhubungan dengan perasaan komunikan atau
komunikate. Mengacu contoh kasus di atas, akibat membaca surat kabar atau
tabloid yang gencar memberitakan video asusila dengan pelaku mirip artis,
akibat melihat televisi yang secara terus menerus memberitakan atau menayangkan
video asusila tersebut, timbul perasaan tertentu pada komunikan/komunikate.
Perasaan yang muncul dari gencarnya pemberitaan itu adalah rasa kepenasaranan,
kecewa, sekaligus sedih pada diri komunikan/masyarakat pemirsa/pembaca.
Komunikan
mengalami perasaan sedih sekaligus kecewa, karena bisa jadi mereka sangat
menyayangkan mengapa artis (meski belum tentu pelakunya adalah artis yang
dimaksud) yang dipuja sampai melakukan tindakan asusila dan beredar luas di
masyarakat. Komunikan juga merasa penasaran, apakah benar pemeran dalam video
tersebut adalah artis yang sedang populer tersebut. Komunikan juga mengalami
kebingungan, kenapa (kalau memang benar pelakunya adalah artis yang diidolakan)
tindakan tersebut dilakukan tidak hanya pada satu orang, namun juga artis yang
lain. Di titik inilah efek afektif dari penyampaian pesan melalui tayangan
berita oleh komunikator (televisi) telah terjadi.
c.
Efek Konatif/Behavioral
Efek
komunikasi media massa ketiga adalah bersangkutan dengan niat, tekad, upaya,
usaha/upaya, yang cenderung menjadi suatu tindakan atau kegiatan dalam diri
komunikan. Mengacu contoh di atas, jelaslah bahwa gencarnya pemberitaan
terhadap beredarnya video asusila mirip artis telah mempengaruhi komunikan
untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan kelanjutan dari dua proses
efek sebelumnya. Jamak yang tahu bahwa di mana-mana orang penasaran dengan
mencari, men-download di dunia internet, untuk mengkoleksi rekaman video dengan
pelaku mirip artis tersebut.
Efek
komunikasi behavioral tersebut juga telah terjadi, karena sejumlah orang
mengambil celah bisnis, dengan menggandakan video asusila dengan pelaku mirip
artis itu dalam jumlah yang banyak berupa VCD dan DVD. Bahkan, dampak luasnya
lagi, DVD porno tayangan mirip artis papan atas Indonesia ini laku keras di
pasaran di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. (Pojok Kompas, Edisi
15 Juni 2010)
Lebih ironis lagi, efek dari beredarnya tayangan video asusila dengan pelaku mirip artis papan atas tersebut telah mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan seksual dengan korban anak di bawah umur, sebagaimana yang terjadi di Bojonegoro, belum lama ini. Kepada polisi yang memeriksanya, tersangka pelaku kekerasan mengaku, bahwa dirinya tega melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak SD tersebut beberapa saat setelah melihat tayangan asusila dengan pelaku mirip artis, yang beredar luas akhir-akhir ini. Pada titik ini efek konatif atau behavioral dari proses komunikasi media massa tersebut, meskipun sebagian besar dari efeknya cenderung ke arah yang negatif, telah berlangsung. (Radar Bojonegoro, 16 Juni 2010)
Lebih ironis lagi, efek dari beredarnya tayangan video asusila dengan pelaku mirip artis papan atas tersebut telah mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan seksual dengan korban anak di bawah umur, sebagaimana yang terjadi di Bojonegoro, belum lama ini. Kepada polisi yang memeriksanya, tersangka pelaku kekerasan mengaku, bahwa dirinya tega melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak SD tersebut beberapa saat setelah melihat tayangan asusila dengan pelaku mirip artis, yang beredar luas akhir-akhir ini. Pada titik ini efek konatif atau behavioral dari proses komunikasi media massa tersebut, meskipun sebagian besar dari efeknya cenderung ke arah yang negatif, telah berlangsung. (Radar Bojonegoro, 16 Juni 2010)
KESIMPULAN
DAN SARAN
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan gencarnya pemberitaan tentang beredarnya
tayangan video asusila dengan pelaku mirip artis tersebut, telah memberikan
efek kognitif, afektif, dan konatif/behavioral. Efek kognitifnya dapat dilihat
dari banyaknya orang yang tahu mengenai beredarnya tayangan tersebut. Efek afektifnya
dapat dilihat banyaknya orang yang penasaran, ingin tahu, ingin melihat,
tayangan tersebut. Dan, efek konatif/behavioral-nya dapat dilihat dari
tingginya minat masyarakat untuk men-download tayangan, membeli DVD tayangan,
serta munculnya tindakan kekerasan seksual di masyarakat, contoh kasus dalam
aspek ini adalah yang terjadi di Bojonegoro.
Mengacu perkembangan
di atas, dapat disimpulkan bahwa pers, dalam hal ini termasuk media massa
televisi, selain menganut teori media sebagaimana dibeberkan oleh Littlejohn,
juga menganut teori liberal pers. Merujuk Milton, Locke, dan Mill, selain
mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi jalannya
pemerintah, media juga memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan
yang diukur dengan meningkatnya rating dan derasnya iklan/pemasukan yang masuk
ke perusahaan media massa. (Werner J. Severin, dan James W. Tankard Jr: 2005).
Karena itu, diperlukan upaya-upaya pembatasan supaya efek komunikasi dari media massa tidak mengarah ke hal-hal negatif, yang dapat merusak perkembangan psikis dan moral masyarakat. Sebab, gencarnya pemberitaan tentang video asusila dengan pelaku mirip artis, akan berakibat buruk terhadap masyarakat, khususnya anak-anak. Ada dua jenis potensi bahaya yang mengancam anak-anak dengan berita itu. Pertama, sensivitas masyarakat terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak menumpul sehingga bisa menurunkan upaya perlindungan anak-anak. Padahal, menurut Deklarasi Hak Anak 1959, anak-anak adalah manusia yang tidak matang jasmani dan mentalnya, sehingga memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus. Kedua, pertumbuhan psikologis anak-anak terganggu akibat terinspirasi isi berita, bahkan dapat terdorong mempraktikkan kekerasan seksual di kemudian hari. (Jurnal Thesis UI: Januari-April 2005). Oleh karena itu, media massa perlu memberikan nilai manfaat kepada masyarakat/komunikan atau pemirsa dan pembacanya.
Karena itu, diperlukan upaya-upaya pembatasan supaya efek komunikasi dari media massa tidak mengarah ke hal-hal negatif, yang dapat merusak perkembangan psikis dan moral masyarakat. Sebab, gencarnya pemberitaan tentang video asusila dengan pelaku mirip artis, akan berakibat buruk terhadap masyarakat, khususnya anak-anak. Ada dua jenis potensi bahaya yang mengancam anak-anak dengan berita itu. Pertama, sensivitas masyarakat terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak menumpul sehingga bisa menurunkan upaya perlindungan anak-anak. Padahal, menurut Deklarasi Hak Anak 1959, anak-anak adalah manusia yang tidak matang jasmani dan mentalnya, sehingga memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus. Kedua, pertumbuhan psikologis anak-anak terganggu akibat terinspirasi isi berita, bahkan dapat terdorong mempraktikkan kekerasan seksual di kemudian hari. (Jurnal Thesis UI: Januari-April 2005). Oleh karena itu, media massa perlu memberikan nilai manfaat kepada masyarakat/komunikan atau pemirsa dan pembacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar