v Efek
Sosial Media Massa berdasarkan Teori
- Teori Model Lasswell
Salah
satu teoritikus komunikasi massa yang pertama dan paling terkenal adalah Harold
Lasswell, dalam artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan model komunikasi yang
sederhana dan sering dikutif banyak orang yakni: Siapa (Who), berbicara apa
(Says what), dalam saluran yang mana (in which channel), kepada siapa (to whom)
dan pengaruh seperti apa (what that effect) (Littlejhon, 1996).
- Teori Komunikasi dua tahap dan pengaruh antar pribadi
Teori
ini berawal dari hasil penelitian Paul Lazarsfeld dkk mengenai efek media massa
dalam kampanye pemilihan umum tahun 1940. Studi ini dilakukan dengan asumsi
bahwa proses stimulus bekerja dalam menghasilkan efek media massa. Namun hasil
penelitian menunjukan sebaliknya. Efek media massa ternyata rendah dan asumsi
stimulus respon tidak cukup menggambarkan realitas audience media massa dalam
penyebaran arus informasi dan menentukan pendapat umum.
- Teori Informasi atau Matematis
Salah
satu teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi teori-teori komunikasi
selanjutnya adalah teori informasi atau teori matematis. Teori ini merupakan
bentuk penjabaran dari karya Claude Shannon dan Warren Weaver (1949, Weaver.
1949 b), Mathematical Theory of Communication.
Teori
ini melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis, dan informatif:
komunikasi sebagai transmisi pesan dan bagaimana transmitter menggunakan
saluran dan media komunikasi. Ini merupakan salah satu contoh gamblang dari
mazhab proses yang mana melihat kode sebagai sarana untuk mengonstruksi pesan
dan menerjemahkannya (encoding dan decoding). Titik perhatiannya terletak pada
akurasi dan efisiensi proses. Proses yang dimaksud adalah komunikasi seorang
pribadi yang bagaimana ia mempengaruhi tingkah laku atau state of mind pribadi
yang lain. Jika efek yang ditimbulkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan,
maka mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi. Ia melihat ke
tahap-tahap dalam komunikasi tersebut untuk mengetahui di mana letak
kegagalannya. Selain itu, mazhab proses juga cenderung mempergunakan ilmu-ilmu
sosial, terutama psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada
tindakan komunikasi.
Karya
Shannon dan Weaver ini kemudian banyak berkembang setelah Perang Dunia II di
Bell Telephone Laboratories di Amerika Serikat mengingat Shannon sendiri adalah
insiyiur di sana yang berkepentingan atas penyampaian pesan yang cermat melalui
telepon. Kemudian Weaver mengembangkan konsep Shannon ini untuk diterapkan pada
semua bentuk komunikasi. Titik kajian utamanya adalah bagaimana menentukan cara
di mana saluran (channel) komunikasi digunakan secara sangat efisien. Menurut
mereka, saluran utama dalam komunikasi yang dimaksud adalah kabel telepon dan
gelombang radio.
Latar
belakang keahlian teknik dan matematik Shannon dan Weaver ini tampak dalam
penekanan mereka. Misalnya, dalam suatu sistem telepon, faktor yang terpenting
dalam keberhasilan komunikasi adalah bukan pada pesan atau makna yang
disampaikan-seperti pada mazhab semiotika, tetapi lebih pada berapa jumlah
sinyal yang diterima dalam proses transmisi.
- Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
Phillip
Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori
uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai
expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
Dalam
kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan
oleh sikap Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium
dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai
contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri
menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan
terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi
lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak
realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk
melihatnya.
- Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Teori
ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan
Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga
menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan
ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam
model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara
pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan
dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini
memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari
media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta
mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi
bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media.
Sumber
ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem
media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam
menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi
khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang
menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
- Teori Agenda Setting
Agenda-setting
diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972). Asumsi teori ini adalah bahwa
jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan
mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap
penting media, maka penting juga bagi masyarakat. Dalam hal ini media
diasumsikan memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini
berkaitan dengan proses belajar bukan dengan perubahan sikap dan pendapat.
- Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa
Teori
ini dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeachdan Melvin L. DeFluer (1976), yang
memfokuskan pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur
kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini berangkat dari sifat
masyarakat modern, diamana media massa diangap sebagai sistem informasi yang
memiliki peran penting dalam proses memelihara, perubahan, dan konflik pada
tataran masyarakat,kelompok, dan individu dalam aktivitas sosial. Secara
ringkas kajian terhadap efek tersebut dapat dirumuskan dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Kognitif, menciptakan atau menghilangkan ambiguitas, pembentukan sikap,
agenda-setting, perluasan sistem keyakinan masyarakat, penegasan/ penjelasan
nilai-nilai.
2.
Afektif, menciptakan ketakutan atau kecemasan, dan meningkatkan atau menurunkan
dukungan moral.
3.
Behavioral, mengaktifkan atau menggerakkan atau meredakan, pembentukan isu
tertentu atau penyelesaiannya, menjangkau atau menyediakan strategi untuk suatu
aktivitas serta menyebabkan perilaku dermawan.
- Teori Uses and Gratifications (Kegunaan dan Kepuasan)
Teori
ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori
ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan
menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang
aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber media
yang paling baik di dalam usaha memenhi kebutuhannya. Artinya pengguna media
mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.
Elemen
dasar yang mendasari pendekatan teori ini (Karl dalam Bungin, 2007): (1)
Kebutuhan dasar tertentu, dalam interaksinya dengan (2) berbagai kombinasi
antara intra dan ekstra individu, dan juga dengan (3) struktur masyarakat,
termasuk struktur media, menghasilkan (4) berbagai percampuran personal
individu, dan (5) persepsi mengenai solusi bagi persoalan tersebut, yang
menghasilkan (6) berbagai motif untuk mencari pemenuhan atau penyelesaian
persoalan, yang menghasikan (7) perbedaan pola konsumsi media dan (8) perbedaan
pola perilaku lainnya, yang menyebabkan (9) perbedaan pola konsumsi, yang dapat
memengaruhi (10) kombinasi karakteristik intra dan ekstra individu, sekaligus
akan memengaruhi pula (11) struktur media dan berbagai struktur politik,
kultural, dan ekonomi dalam masyarakat.
- Teori The Spiral of Silence
Teori
the spiral of silence (spiral keheningan) dikemukakan oleh Elizabeth
Noelle-Neuman (1976), berkaitan dengan pertanyaan bagaimana terbentuknya
pendapat umum. Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya pendapat umum
ditentukan oleh suatu proses saling mempengaruhi antara komunikasi massa,
komunikasi antar pribadi, dan persepsi individu tentang pendapatnya dalam
hubungannya dengan pendapat orang-orang lain dalam masyarakat.
- Teori Konstruksi sosial media massa
Gagasan
awal dari teori ini adalah untuk mengoreki teori konstruksi sosial atas
realitas yang dibangun oleh Peter L Berrger dan Thomas Luckmann (1966, The
social construction of reality. A Treatise in the sociology of knowledge.
Tafsir sosial atas kenyataan: sebuah risalah tentang sosisologi pengetahuan). Mereka
menulis tentang konstruksi sosial atas realitas sosial dibangun secara simultan
melalui tiga proses, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Proses simultan ini terjadi antara individu satu dengan lainnya di dalam
masyrakat. Bangunan realitas yang tercipta karena proses sosial tersebut adalah
objektif, subjektif, dan simbolis atau intersubjektif.
- Teori Difusi Inovasi
Teori
difusi yang paling terkemuka dikemukakan oleh Everett Rogers dan para
koleganya. Rogers menyajikan deksripsi yang menarik mengenai mengenai
penyebaran dengan proses perubahan sosial, di mana terdiri dari penemuan,
difusi (atau komunikasi), dan konsekwensi-konsekwensi. Perubahan seperti di
atas dapat terjadi secara internal dari dalam kelompok atau secara eksternal melalui
kontak dengan agen-agen perubahan dari dunia luar. Kontak mungkin terjadi
secara spontan atau dari ketidaksengajaan, atau hasil dari rencana bagian dari
agen-agen luar dalam waktu yang bervariasi, bisa pendek, namun seringkali memakan
waktu lama.
Dalam
difusi inovasi ini, satu ide mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun untuk
dapat tersebar. Rogers menyatakan bahwa pada realisasinya, satu tujuan dari
penelitian difusi adalah untuk menemukan sarana guna memperpendek keterlambatan
ini. Setelah terselenggara, suatu inovasi akan mempunyai konsekuensi
konsekuensi – mungkin mereka berfungsi atau tidak, langsung atau tidak
langsung, nyata atau laten (Rogers dalam Littlejohn, 1996 : 336).
- Teori Kultivasi
Program
penelitian teoritis lain yang berhubungan dengan hasil sosiokultural komunikasi
massa dilakukan George Garbner dan teman-temannya. Peneliti ini percaya bahwa
karena televisi adalah pengalaman bersama dari semua orang, dan mempunyai
pengaruh memberikan jalan bersama dalam memandang dunia. Televisi adalah bagian
yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari kita. Dramanya, iklannya, beritanya,
dan acara lain membawa dunia yang relatif koheren dari kesan umum dan
mengirimkan pesan ke setiap rumah. Televisi mengolah dari awal kelahiran
predisposisi yang sama dan pilihan yang biasa diperoleh dari sumber primer
lainnya. Hambatan sejarah yang turun temurun yaitu melek huruf dan mobilitas
teratasi dengan keberadaan televisi. Televisi telah menjadi sumber umum utama
dari sosialisasi dan informasi sehari-hari (kebanyakan dalam bentuk hiburan)
dari populasi heterogen yang lainnya. Pola berulang dari pesan-pesan dan kesan
yang diproduksi massal dari televisi membentuk arus utama dari lingkungan
simbolis umum.
Garbner
menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi dipercaya
dapat berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan. Teori kultivasi
sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak media televisi terhadap khalayak.
Bagi Gerbner, dibandingkan media massa yang lain, televisi telah mendapatkan
tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga
mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan pesannya
tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya
(McQuail, 1996 : 254)
v Efek
Sosial Media Massa berdasarkan Contoh Kasus :
“Kekuatan
Agenda Setting dalam Membentuk Opini Publik”
Pertengahan
bulan april tahun 2009 nama Manohara Odelia Pinot begitu ramai di media massa.
Namanya memuncat sejak kasus dugaan kekerasan rumah tangga (KDRT) yang
dilakukan suaminya, Pangeran Kelantan Malaysia, Tengku Muhammad Fakhry.
Meskipun gadis kebangsaan Amerika Serikat dan Bugis ini sudah terjun di dunia
model sejak tahun 2006 namun namanya hampir tak terdengar. Pada awalnya kasus
ini biasa-biasa saja namun menjadi sangat besar saat ibu Manohara, Daisy
Fajrina, melakukan jumpa pers di kantor Komnas HAM tanggal 23 April. Daisy
menceritakan kisah “penculikan” dan penganiayaan yang dialami putrinya itu.
·
Keperkasaan
Media Massa
Siapa yang tak kenal Manohara?
Model yang terpilih dalam 100 Pesona Indonesia menurut Majalah Harper’s ini
menjadi topik hangat sampai hari ini. Mulai dari ibu rumah tangga, karyawan,
sampai kanak-kanak pun familiar dengan wajah cantik dan kisahnya yang
mengharu-biru. Media massa menjadikannya lalu-lalang ramaikan layar kaca kita.
Tak tanggung-tanggung, semua stasiun televisi memiliki jadwal wawancara
langsung dengannya. Semua aspek kehidupannya dikupas tuntas untuk dipaparkan
kepada pemirsa. Kekuatan media memang tidak diragukan lagi dalam memengaruhi
massa. Respon dari masyarakat begitu mendalam. Ketika sebuah televisi
berinovasi dengan Twitter dan Facebook agar pemirsa bisa menanyakan langsung
hal-hal kecil tentang Manohara, muncul pertanyaan “Is that Christian
Louboutin?” dan “Berapa buah koleksi Tas Hermes milik Mano?”. Benar-benar luar
biasa. Pengaruh media terhadap khalayak sampai sebegitu jauhnya sehingga mereka
jeli dan sangat sadar merk.
Para ilmuwan komunikasi dari dulu
sampai sekarang berbeda pendapat mengenai kekuatan media massa memengaruhi
pendapat dan sepak terjang khalayak. Sebagian mengatakan sesungguhnya media itu
sangat powerfull.
Media tidak hanya sanggup memengaruhi opini publik, tapi juga tindakan publik.
Di sisi lain, pengaruh media dikatakan terbatas, tergantung pada konteks ruang
dan waktu, dan di mana media itu bekerja. Bagi mereka yang menganggap the media is powerfull, kemudian
melahirkan beberapa teori komunikasi massa yang memiliki pengaruh besar
terhadap masyarakat dan budaya, yakni teori Agenda Setting, teori Dependensi, Spiral of Silence, dan Information Gaps.
Agenda Setting
Masyarakat Indonesia yang plural
dalam ragam budaya dan strata ekonomi berhasil digiring televisi pada satu
titik sikap, simpati bagi Manohara. Inilah kekuatan media massa, mampu
memengaruhi perubahan kognitif pemirsa. Dari teori komunikasi massa yang ada,
agenda setting menjadi teori paling menarik bagi saya. Karena itulah teori
agenda setting akan menjadi pembahasan utama pada tulisan ini. Dasar pemikiran
teori ini adalah di antara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang
mendapat lebih banyak perhatian dari media akan menjadi lebih akrab bagi
pembacanya dan akan dianggap penting dalam suatu periode tertentu. Akan terjadi
sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media.
Teori agenda setting pertama kali
dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and The Picture in Our Head” yang
sebelumnya telah menjadi bahan pertimbangan oleh Bernard Cohen (1963) dalam
konsep “The mass media may not be
successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in
telling us what to think about“. Penelitian empiris ini dilakukan
Maxwell E. McCombs dan Donald L. Shaw ketika mereka meneliti pemilihan presiden
tahun 1972. Mereka mengatakan, walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku
manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan
masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa
para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk
realitas sosial kita. Itu terjadi ketika mereka melaksanakan tugas keseharian
mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu
masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana
pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.
Contoh kasus lain yang menjadi
pilihan media adalah Prita Mulyasari. Ibu muda yang dipenjara karena
mengeluhkan pelayanan sebuah institusi melalui email di sebuah mailist. Media
massa mengeksposnya. Tak ayal, dukungan dan simpati mengalir deras bagi
pembebasannya. Sampai-sampai diadakannya aksi solidaritas Koin Peduli Prita
dalam rangka membantu Prita dalam memperoleh uang untuk bayar denda kepada
Rumah Sakit Omni Internasional sebesar Rp204.000.000,-. Alhasil sumbangan
seluruh masyarakat dari seluruh Indonesia sebesar Rp825.728.550,-. Jumlah ini
empat kali lipat melebihi denda yang harus dibayarkan Prita kepada Rumah Sakit
Omni Internasional.
Framing yang dilakukan media
membuat suatu berita terus menerus ditayangkan di media sehingga muncul agenda
publik. Seperti yang dikatakan Robert N. Ertman, framing adalah proses seleksi
dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih
menonjol dibandingkan aspek lain. Masyarakat akan menjadikan topik utama yang
diangkat oleh media sebagai bahan perbincangan sehari-hari. Pengaruh dari teori
agenda setting terhadap masyarakat dan budaya sangat besar. Dunia fashion
mengambil kesempatan ini untuk menarik style untuk kemudian menjadikannya trendsetter. Bahkan hingga
menyentuh lapisan masyarakat menengah ke bawah. Banyak dijual kaos bergambar
wajah Manohara di pasaran. Popularitas Manohara di tanah air langsung melesat
bak meteor. Begitu juga yang terjadi pada kasus Prita. Dampak dari media massa
yang terus mem-blow up
kasusnya terbentuklah opini publik yang cenderung untuk memberinya dukungan.
Agenda setting sendiri baru
menunjukan keampuhannya jika agenda media menjadi agenda publik. Lebih hebatnya
lagi jika agenda publik menjadi agenda kebijakan. Bernard C. Cohen (1963)
mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan
orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam
berpikir tentang apa. Kita bisa memakai media apa saja untuk membangun opini,
tapi jika tidak sejalan dengan selera publik, maka isu yang dibangun dengan
instensitas sekuat apa pun belum tentu efektif. Akibat dari opini yang dibangun
publik mengenai dua kasus di atas, pemerintah turun tangan dalam memberikan
kebijakan terhadap kasus-kasus ini.
Kelemahan teori agenda setting.
Coba kita lihat skandal Century
yang semakin memanas hingga hari ini. Beritanya tidak menjadi topik utama di
semua media massa. Hanya beberapa media saja yang menjadikannya headline. Itu terjadi karena tidak
sesuai dengan selera publik. Di sinilah kelemahan dari teori agenda setting.
Ketika mulai masuk ke selera publik maka teori yang lebih relevan untuk
melihatnya adalah Uses dan
Gratification. Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang
pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya.
Dalam memenuhi kebutuhan secara
psikologis dan sosial, audiens menjadi tergantung pada media massa. Audiens
memperlakukan media sebagai sumber informasi bagi pengetahuan mengenai
perkembangan kasus Century. Karena itu, media pun bersedia menayangkan Sidang
Pansus Century secara live. Media mencoba memberikan apa yang dibutuhkan oleh
audiens sehingga memberikan efek dalam ranah afektif audiens. Salah satunya
adalah meningkat dan menurunnya dukungan moral terhadap skandal Century yang
sedang dalam penyelesaian.
Bernard C. Cohen (1963) mengatakan
bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang
yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang
apa. Ini termasuk dalam kelebihan dari teori agenda setting sementara yang
lainnya adalah memiliki asumsi bahwa suatu berita mudah dipahami dan mudah
untuk diuji. Dari kelemahan dan kelebihan yang dimiliki teori agenda setting
tentu ada saja dampak negatif dan positifnya.
Media literacy
Teori yang disebut Cultural Norms, beranggapan bahwa
media tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, tetapi juga
memengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serat nilai-nilai dari
suatu masyarakat. Media massa telah menghadirkan seperangkat citra, gagasan,
dan evaluasi dari mana audiens dapat memilih dan menjadikan acuan bagi
perilakunya. Sangat penting bagi pemirsa untuk menyikapi dengan benar masalah
negatif yang timbul dari teori agenda setting.
Dalam teori agenda setting,
audiens bersifat pasif sehingga tidak bisa mengontrol efek yang menimpanya.
Agar tidak terjadi kesalahan dalam perolehan informasi maka perlu untuk melek
media atau Literacy Media.
James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media
Literacy” (Potter, 2001) mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah
perspekif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan
tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media.
Potter (Baran and Davis, 2003)
memberikan pendekatan berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:
- Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan
merupakan kondisi kategorikal
- Media literacy
perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
- Media literacy bersifat
multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan
proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang
mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi
media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada
kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan
- Tujuan dari media
literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk
menginterpretasi pesan.
Berita bukan refleksi dari
realitas melainkan kosntruksi dari realitas. Sebagai masyarakat modern,
masyarakat yang selalu membutuhkan informasi atau bisa dikatakan Information Based Society, kita
harus melek media. Hal ini bertujuan agar kita tidak salah dalam menerima
berita. Kita jadi selektif dalam menanggapi media massa. Karena menjadi audiens
yang pasif tidaklah menyenangkan. Akankah selamanya kehidupan kita diatur
berdasarkan agenda setting dari media?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar