Senin, 30 April 2012

Perlunya Etika Komunikasi


“Etika dalam Menyampaikan Informasi Kini Telah Pudar”

Etika tidak hanya dibutuhkan dalam kehidupan bersosialisasi terhadap lingkungan kita. Etika dibutuhkan di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia komunikasi. Hal ini pun telah dibentuk dalam berbagai kode etik profesi yang berkaitan dengan komunikasi di Indonesia. Fungsinya tak lain adalah sebagai pedoman dalam memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya oleh media, untuk menjaga agar hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dapat terpenuhi. Namun sangat disayangkan, media yang ada sekarang ini justru lebih mengarahkan usahanya sebagai komoditas di dalam dunia bisnis. Akibatnya, etika kerap kali terbengkalai dan terkalahkan oleh pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi, atau budaya.
Dalam cara berpikir industri, informasi pertama-tama dianggap sebagai barang dagangan, sehingga misi utama media untuk mengklarifikasi dan memperkaya debat demokrasi pun musnah (Haryatmoko, 2007: 20). Informasi hanya dianggap sebagai alat untuk meraih keuntungan sebesar mungkin, bahkan media terkadang mengorbankan profesionalismenya demi menampilkan sesuatu yang lebih sensasional atau spektakuler agar dapat meningkatkan nilai jualnya. Akibatnya, kerja wartawan yang berada di dalam media tersebut pun kini seakan hanya terbatas pada mempublikasikan kehidupan selebritis dan orang-orang penting yang laku dipasaran. Hal ini menunjukkan betapa kejamnya dunia bisnis terhadap kelangsungan hidup komunikasi melalui media yang sesungguhnya. Bahkan banyak pimpinan media datang dari dunia perusahaan bukan dari dunia jurnalisme, dan harus diakui bahwa mereka tidak peka terhadap tuntutan informasi yang sesungguhnya.
Pudarnya etika dalam tubuh media menyebabkan fenomena yang tampak seperti logika simulasi, dimana orang tidak akan dapat mencapai kebenaran karena antara realitas, representasi, hiperrealitas, atau tipuan tidak dapat dibedakan lagi (Haryatmoko, 2007: 22). Hal ini pun memacu timbulnya mimitisme, yaitu gairah yang mendorong media untuk meliput kejadian karena media lain, yang menjadi acuannya, meliput berita tersebut. Anehnya, dalam situasi ini, berita yang diliput belum tentu penting. Ketergesaan untuk meliput kejadian yang sama ini muncul hanya karena adanya persaingan antarmedia untuk menjadi orang pertama yang memberitakannya.
Yang dimaksud dengan etika di dalam pembahasan ini tidak hanya terbatas pada apa yang disampaikan kepada publik. Jelas bahwa kebenaran dan keakuratan isi berita merupakan hal utama yang harus diperhatikan dalam proses penyampaian informasi tersebut. Namun perlu diingat bahwa bahasa yang dipergunakan, pilihan gambar yang ditampilkan, serta kejadian-kejadian yang difokuskan dalam pemberitaan juga perlu dipertimbangkan kembali sebelum digunakan untuk membentuk berita tersebut. Frekuensi dan sudut pandang pemberitaan pun perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan permasalahan baru. Hal ini bukan dilakukan bukan hanya demi pandangan masyarakat tentang media itu sendiri, melainkan juga untuk menjaga narasumber itu sendiri.
Contoh kasus dari bidang jurnalistik yang dapat kita ambil tentang bagaimana akibatnya jika etika tidak dipedulikan adalah pemberitaan yang dilakukan oleh MetroTV tentang korban dari tragedi jatuhnya pesawat Hercules milik TNI AU beberapa saat yang lalu. Peristiwa yang mengerikan dan menggemparkan itu sempat menjadi fokus utama, bahkan pemberitaan tentang korban-korban yang berjatuhan akibat kejadian itu sempat memakan waktu berjam-jam dalam pemberitaan. MetroTV bahkan sempat mengemasnya di dalam satu program acara khusus. Namun, karena belum memperoleh hasil penyelidikan dari tim yang berwajib tentang penyebab jatuhnya pesawat tersebut secara pasti, isi pemberitaan pun akhirnya didominasi oleh berita tentang bagaimana keluarga korban bereaksi saat mengetahui bahwa keluarga mereka menjadi korban dalam peristiwa naas tersebut.
Pada saat itu, MetroTV meliput habis-habisan tentang bagaimana kesedihan yang menimpa keluarga korban, terutama saat jenasah para korban tiba di tempat kediamannya hingga proses penguburannya. Bahkan beberapa reporter MetroTV sengaja di tempatkan di beberapa rumah korban untuk meliput secara langsung kesedihan yang dialami oleh keluarga korban. Di dalam peliputan tersebut pun terlihat bagaimana kameramen ikut berdesakan bersama keluarga korban yang sedang saling berpelukan dan menangis, demi mendapatkan gambar wajah mereka yang penuh dengan kesedihan itu. Beberapa reporter pun sempat melakukan wawancara langsung terhadap keluarga korban yang intinya adalah mempertanyakan bagaimana perasaan mereka atas kematian sanak saudara mereka itu. Dan akibat dari pertanyaan itu adalah keluarga korban kembali menangis karena teringat akan apa yang menimpa keluarga mereka.
Tayangan yang paling menyayat hati adalah saat kameramen meliput ekspresi dan tangis histeris salah satu istri korban saat menghantarkan kepergian suaminya ke tempat peristirahatan yang terakhir. Ibu tersebut menangis sejadi-jadinya hingga kehabisan tenaga, dan untuk berjalan saja ia harus dipapah oleh orang-orang di sekelilingnya. Hal ini menunjukkan ketidakmanusiawian dan ketidaketisan media dalam melakukan peliputan dan pemberitaan. Berita yang seharusnya juga menggambarkan bahwa media pun turut berduka atas tragedi itu, formatnya justru berubah menjadi format infotainment. Untuk menggugah dan merenyuh sisi humanis kemanusiaan, dramatisasi dapat dibenarkan namun tetap dalam bingkai dan norma yang berlaku, terutama tetap harus berdasarkan fakta (Iswandi, 2006: 184).
Sama seperti mereka mengejar artis-artis untuk meminta keterangan lebih lanjut tentang kehidupan pribadi mereka, di dalam kasus ini pun mereka memaksakan kehendak untuk mewawancarai keluarga korban. Padahal harus kita akui bahwa gambar-gambar yang berhasil diambil oleh wartawan sudah menunjukkan secara jelas apa yang dirasakan oleh keluarga korban. Sebenarnya hal ini tidak boleh dilakukan mengingat narasumber masih berada dalam trauma kejiwaan dan hal ini pun telah diatur di dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 2 yang berbunyi, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Yang termasuk di dalamnya adalah menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara. Sehingga dapat dikatakan bahwa wartawan tidak dibenarkan untuk melakukan wawancara langsung dengan pihak keluarga korban maupun meliput gambar secara berlebihan untuk menambah efek dramatisasi. Padahal kejadian ini sudah cukup mengagetkan masyarakat tanpa perlu ditambahi efek seperti itu.
Dalam menangani berita, wartawan memiliki memang memiliki kebebasan dalam menulis. Namun kebebasan itu tetap dibatasi oleh moral, yaitu etika. Memang wartawan dituntut untuk memberikan berita secara cepat, tapi cepat bukan berarti ngawur. Berita yang akan dan telah ditulis itu tetap harus dipertimbangkan kembali dari segi humanisnya serta dampaknya terhadap orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam kasus ini, peliputan yang dilakukan menunjukkan bahwa wartawan melupakan sisi humanisnya, di mana wartawan justru mengekspose kesedihan keluarga korban untuk disajikan kepada publik dalam durasi waktu yang berlebihan. Bahkan penayangan gambar-gambar yang paling menunjukkan ekspresi kesedihan itu tidak hanya diputar satu kali saja, melainkan beberapa kali di dalam program berita yang berbeda-beda.
Etika yang diabaikan dalam dunia komunikasi dapat menghilangkan kepekaan sosial dan rasa peduli terhadap sesama. Komunikasi memang sangat diperlukan di dalam bersosialisasi dan bermasyarakat, dan media adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun dalam berkomunikasi, terutama dalam menyampaikan informasi melalui media, di mana media dapat dengan mudah membentuk cara pandang masyarakat, banyak hal-hal yang harus dipertimbangkan kembali berkaitan dengan etika. Sedangkan masyarakat jaman sekarang sudah terbiasa untuk menyaksikan kejadian-kejadian ekstrim yang disajikan melalui media, sehingga kepekaan mereka akan pelanggaran etika yang dilakukan dalam dunia komunikasi melalui media pun sering tak mereka sadari, bahkan hanya diterima mentah-mentah sebagai sebuah informasi semata.
Sangat disayangkan bahwa di era sekarang ini, nilai etika tampaknya sudah mulai pudar dan bergeser. Banyak tindakan yang dulunya dianggap melanggar etika, kini justru diterima begitu saja oleh masyarakat seakan hal tersebut adalah hal yang biasa-biasa saja dan tidak mengganggu. Salah satu penyebab pergeseran etika, terutama dalam bidang komunikasi, tersebut adalah media massa yang makin meningkat jumlahnya. Dengan berbagai sudut pandang yang dimiliki oleh tiap media terhadap suatu berita, mereka pun mengemasnya sesuai dengan ideologi masing-masing perusahaan dan makin sering melupakan etika yang berlaku secara umum karena tuntutan dari persaingan bisnis dengan perusahaan media lainnya. Akibatnya, mereka seakan membuat batasan baru tentang etika komunikasi yang disesuaikan dengan ideologi perusahaannya masing-masing.
  
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil mengenai etika dalam berkomunikasi ini adalah etika sangat dibutuhkan sebagai pedoman dalam melakukan proses menyampaikan dan menerima pesan. Dalam menyampaikan pesan melalui media, tidak boleh hanya memikirkan apakah berita tersebut memiliki nilai jual yang tinggi, melainkan juga memikirkan dampak yang akan terjadi terhadap narasumber, pihak-pihak yang terkait dengan kejadian itu, maupun audience yang menjadi konsumen berita tersebut. Etika juga dibutuhkan untuk menjaga agar informasi yang disampaikan tidak merugikan atau mengganggu privasi seseorang. Pengalaman traumatik yang menyerang kejiwaan seseorang atau narasumber juga patut menjadi pertimbangan sebelum wartawan ingin menggali informasi lebih lanjut. Dengan tetap berpegang pada etika yang ada, maka sisi sosial dan humanis, keadilan, dan kebebasan berpendapat yang sesungguhnya tidak akan terabaikan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar